Sabtu, 29 September 2012

Menjamu Siena, Saatnya Kembali ke Jalur Positif


Menjamu Siena, Saatnya Kembali ke Jalur Positif
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012
grafis diolah dari http://legaseriea.it
Memasuki giornata 6, Lazio berada pada situasi yang sulit. Dua kekalahan terakhir atas Genoa dan Napoli membuat Petkovic harus bekerja keras mengembalikan optimisme Mauri dan kawan-kawan. Bukan tugas mudah, fisik pemain mulai mengalami kelelahan akibat jadwal yang padat. Tengah pekan depan NK Maribor akan datang, dan akhir pekan depan Lazio harus bertandang ke Stadio Adriatico melawan Pescara, sebelum kompetisi diliburkan 2 pekan untuk kualifikasi Piala Dunia 2014.

Dan kali ini Lazio akan menjamu Siena, tim yang mulai mendapatkan bentuknya di tangan pelatih dan motivator ulung, Serge Cosmi. Siena mencatat dua kemenangan beruntun di dua laga terakhir tanpa kemasukan satu golpun, termasuk saat membenamkan Internazionale di depan para pendukungnya di San Siro. Siena yang memulai kompetisi dengan angka minus 6, kini mulai mengoleksi angka positif hasil dua kali menang dan dua kali seri.

Lazio tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenangi laga ini dan kembali ke jalur positifnya di Serie-A. Petkovic masih belum dapat menurunkan beberapa pemainnya yang cedera seperti Radu, Brocchi dan Gonzalez, dan tampaknya tidak akan mengambil risiko seperti ketika menghadapi Genoa. Kecuali Biava yang akan kembali berduet dengan Dias, kemungkinan besar tim inti Lazio akan diturunkan.

Selain bek Mattia Contini, Cosmi memang kehilangan kiper utamanya, Andrea Campagnolo, tetapi justru menemukan performa apik pada penggantinya, Gianluca Pegolo, yang mencatat dua clean sheet berturut-turut. Seperti halnya musim lalu, penyerang Emanuele Calaio tetap menjadi ancaman bagi kiper manapun.

Laga akan berlangsung ketat dengan Siena akan memanfaatkan kebugaran fisiknya yang relatif lebih baik. Petkovic tentu telah belajar dari dua kekalahan terakhir, dan akan membuat timnya bermain dengan efisien namun tetap efektif mendominasi laga dan memanfaatkan peluang. Lazio mungkin hanya akan memenangi laga dengan skor tipis, tetapi tiga angka adalah mutlak untuk kembali ke jalur yang seharusnya.

Head to Head:
Kedua tim pernah berjumpa pada 17 laga sejak 2003/2004 dengan Lazio memenangi 5 laga, Siena 6 laga dan sisanya seri. Pertemuan terakhir adalah pada laga uji coba Pra Musim di Auronzo di Cadore dengan kekalahan Lazio 0-1. Sedangkan laga resmi terakhir antara keduanya terjadi di Olimpico dengan hasil imbang 1-1. Meskipun rekor Lazio terhadap Siena terbilang tidak baik, Lazio belum pernah mengalami kekalahan dari Siena di Olimpico.
Lima head to head:
25 Juli 2012 (Pra Musim): Lazio 0-1 Siena
2 Mei 2012 (Serie-A): Lazio 1-1 Siena
7 Januari 2012 (Serie-A): Siena 4-0 Lazio
24 Maret 2010 (Serie-A): Lazio 2-0 Siena
1 November 2009 (Serie-A): Siena 1-1 Lazio

Lima laga terakhir Lazio:
27 September 2012 (Serie-A): Napoli 3-0 Genoa
24 September 2012 (Serie-A): Lazio 0-1 Genoa
21 September 2012 (Liga Europa): Tottenham Hotspurs 0-0 Lazio
16 September 2012 (Serie-A): Chievo 1-3 Lazio
3 September 2012 (Serie-A): Lazio 3-0 Palermo

Lima Laga Terakhir Siena:
27 September 2012 (Serie-A): Siena 1-0 Bologna
24 September 2012: Inter 0-2 Siena
16 September 2012 (Serie-A): Siena 2-2 Udinese
2 September 2012 (Serie-A): Sampdoria 2-1 Siena
26 Agustus 2012 (Serie-A): Torino 0-0 Genoa

Perkiraan Formasi:
Lazio (4-1-4-1):
22-Federico Marchetti; 29-Abdoulay Konko, 2-Michael Ciani, 3-Andre Dias, 39-Luis Pedro Cavanda; 24-Cristian Ledesma; 87-Antonio Candreva, 8-Anderson Hernanes, 6-Stefano Mauri (kapten), 19-Senad Lulic; 25-Miroslav Klose

Siena (4-3-2-1):
25-Gianluca Pegolo; 13-Neto , 24-Massimo Paci, 18-Felipe, 3 Cristiano Del Grosso; 6-Angelo, 8-Simone Vergassola (kapten), 21-Ribair Rodriguez; 27-Alessandro Rossina, 57-Ze Eduardo; 11-Emanuele Calaio

Wasit:
Carmine Russo (Nola)

Penerawangan Mbah Galuh:
Lazio 2-1 Siena

Waktu Pertandingan:
Minggu, 30 September 2012, pukul 20.00 WIB. Laga ini tidak disiarkan secara langsung oleh TVRI.

Jumat, 28 September 2012

Sportivitas Klose


Sportivitas Klose
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012

foto: Dino Pananto, Getty Image, di http://sbnation.com
Penyerang Lazio, Miroslav Klose, menjadi tokoh yang banyak diperbincangkan di dunia maya dan media cetak dan elektronik olahraga di dunia pekan ini. Tak hanya di Italia dan Eropa, di Amerika Serikat di mana sepakbola kalah populer dibandingkan American Football, bola basket dan baseball pun nama Klose ramai diperbincangkan.

Pada laga pekan kelima Serie-A melawan Napoli di Stadio San Paolo tengah pekan ini, Klose menunjukkan kepada semua orang akan hakikat olahraga yang sebenarnya. Olahraga yang lebih dari sekedar mencari kemenangan dan menjadi yang terbaik, melainkan olahraga yang mengedepankan esensi olahraga itu sendiri, sportivitas.

Klose mencetak “gol” pada menit keempat, tetapi gerakan refleknya secara tak sengaja membuat bola tersentuh lengannya sebelum masuk ke gawang De Sanctis. Wasit tidak melihat kejadian ini karena posisinya yang jauh. Pemain Napoli serta-merta mengajukan protes. Pada titik inilah Klose membuat keputusan luar biasa. Kepada wasit Luca Banti dia mengatakan bahwa bola memang tersentuh tangannya dan meminta kepada sang pengadil laga untuk tidak mengesahkan “gol” tersebut. Maka seluruh pemain Napoli mengerubungi Klose, memeluknya untuk mengapresiasi jiwa besar Klose.

Tindakan Klose mendapat pujian dari pelatih Lazio, Vladimir Petkovic, meskipun dia harus menerima kenyataan timnya kalahkan dengan skor 0-3 di akhir laga. Kapten tim Napoli, Paolo Cannavaro, tidak dapat menyembunyikan kekagumannya kepada Klose. Kepada wartawan dia mengatakan, “Klose sangat layak mendapat penghargaan.”

Ini hanya kisah kecil tentang sportivitas dalam sepakbola, dan bukan satu-satunya. Masih banyak catatan lainnya yang menunjukkan jiwa besar insan sepakbola.

Wenger dan Arsenal
Tanggal 13 Februari 1999 stadion Highbury menjadi saksi atas sebuah sportivitas lainnya. Saat itu Arsenal sedang menjamu Sheffield United pada babak kelima FA Cup dan skor sementara imbang 1-1. Salah seorang pemain tamu dengan sengaja menendang bola keluar lapangan karena melihat rekannya, Lee Morris tergeletak membutuhkan pertolongan. Lemparan kedalam bagi Arsenal diberikan ke Kanu. Oleh pemain asal Nigeria ini buka bukannya ditendang ke arah pemain lawan sebagai wujud “fairplay” tetapi malah dibawa dan dioperkan ke Overmaars untuk dikonversikan menjadi gol kemenangan Arsenal.

Wasit mengesahkan gol ini karena memang tidak ada perarturan resmi yang dilanggar. Meskipun sempat mengejek Kanu, pemain Sheffield United tidak dapat berbuat lain kecuali menerima kekalahan. Adalah pelatih Arsenal, Arsene Wenger, yang menemui pelatih Sheffield United, Steve Bruce, segera setelah laga usai dan menawarkan laga ulang di tempat yang sama. FA menyetujui usulan Wenger. Dan laga ulang digelar 10 hari kemudian, dan tetap dimenangi Arsenal.

Apa yang dilakukan Klose dan Wenger sangat dapat dipahami oleh mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas dalam olahraga. Klose tak hendak mencoreng sejarah karirnya dan klubnya, Lazio, dengan sebuah “Gol Tangan Tuhan”. Wenger juga tak ingin Arsenal dikenang dengan sebuah kemenangan tak terpuji walaupun kemenangan itu sah dan legal menurut peraturan resmi yang ada.

AS Roma dan Cagliari
Sportivitas yang ditunjukkan Klose terjadi hanya berselang sehari setelah FIGC mengabulkan tuntutan dan permohonan AS Roma untuk memperoleh tiga poin tanpa harus berkeringat atas Cagliari, yang tak dapat menggelar laga serta sikap bodoh presidennya, Cellino. Kejadian ini, mau tak mau mengingatkan semua orang akan sebuah sikap berbeda yang 13 tahun yang lalu ditunjukkan Wenger, seperti diuraikan di atas.

Apakah AS Roma salah mengajukan permohonan kemenangan tanpa tanding? Sama sekali tidak salah, karena apa yang dimohonkan oleh AS Roma sesuai dengan peraturan resmi yang ada. Sama halnya dengan peraturan resmi FA yang mengesahkan gol Overmaars. FIGC juga tidak salah dalam menerapkan aturannya.

Yang menjadi berbeda adalah sikap sportivitas itu sendiri. Antara yang menempatkan kemenangan di atas segalanya, dengan yang menempatkan nilai-nilai luhur olahraga (spotivitas) di atas sekedar sebuah kemenangan. Antara yang berjiwa besar, dan berjiwa kerdil. Antara yang bermental juara, dan yang bermental pecundang.

Mental Juara dan Mental Pecundang
Peraturan adalah hukum yang dibuat sebagai pedoman, tetapi semangat sportivitas dan keadilan adalah tujuan akhir yang hendak dicapai. Dapat dianalogikan dengan kejadian di Indonesia. Polisi yang menangkap dan memroses seorang nenek renta pencuri 3 butir kakao atau bocah pencuri sendal butut, jelas tidak salah karena didukung peraturan dan hukum yang resmi. Tapi rasa keadilan publik tidak pernah dapat dibohongi dibendung.

Kembali ke lapangan hijau. Jiwa besar dan sportivitas yang ditunjukkan Klose dan Wenger akan tercatat dalam sejarah olahraga. Sejarah juga akan mencatat mereka yang menempatkan kemenangan diatas luhurnya nilai-nilai sportivitas.

Menunjukkan mental juara atau mental pecundang adalah sebuah pilihan. Mungkin benar kata sebagian orang. Mental juara atau mental pecundang itu bawaan lahir. Tapi mungkin juga itu merupakan hasil dari suatu proses penanaman nilai-nilai hidup dan idealisme yang dilakukan oleh keluarga, komunitas dan entitas di mana sang pelaku berada. Wallahualam!

Kamis, 27 September 2012

Ultras, A Way of Life


Ultras, A Way of life
(bagian pertama dari tiga tulisan)
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
@2012

foto dari http://ultraslazio.it
Pengantar:
Ini bagian pertama dari tiga artikel tentang klutur Ultras di persepakbolaan Italia. Bagian pertama ini akan lebih banyak mengulas pengertian dan nilai-nilai Ultras serta kehadiran mereka di Italia. Bagian kedua, “Ultras, Kekerasan dan Rasisme” akan saya unggah beberapa hari lagi, dan bagian ketiga, “Irriducibili Tak Pernah Mati” akan secara khusus mengulas lahir, berkembang dan bubarnya kelompok Ultras paling fenomenal di Italia, Irriducibili Lazio. Meskipun demikian, masing-masing artikel dapat dibaca secara mandiri.



*****
Sebelumnya, pendukung suatu klub bersifat individualis, sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil. Mereka mungkin saja patriotis di stadion, tetapi identifikasi dan simbolisasi diri pendukung terhadap klub berhenti begitu laga usai dan lampu stadion dipadamkan. Mereka bersifat anonim dan sama sekali bukan merupakan bagian spiritual dari klub.

Kata Ultras dimaknai sebagai lebih, sangat, luar biasa atau ekstrem. Dalam sepakbola Ultras mengacu kepada kelompok pendukung atau fans yang terorganisasi, memiliki kode berperilaku yang bersifat komunal, cenderung eksklusif serta memiliki identitas yang kuat serta loyalitas tak terbatas kepada tim sepakbola yang didukungnya. Ultras lebih daripada sekedar hadir di stadion dan memberi dukungan, ultras adalah sebuah totalitas mental, sikap dan perbuatan dalam mendukung klub, di dalam dan di luar stadion, saat ada dalam kelompok dan saat sendiri, saat menang dan saat kalah, saat klub di puncak kejayaan dan saat klub di nadir keterpurukan. Maka, empat nilai penting pada Ultras adalah kehormatan, totalitas, loyalitas dan solidaritas.

Cikal Bakal Ultras
Kelompok Ultras pertama di dunia terbentuk justru bukan untuk mendukung sebuah klub, melainkan untuk mendukung tim nasional. Torcida Organizada terbentuk di Brasil tahun 1939 untuk mendukung timnas mereka. Perang Dunia Kedua yang melanda Eropa membuat gagasan Ultras ini sedikit terlambat berkembang ke benua biru. Barulah pada 1950 Ultras pertama Eropa lahir di Yugoslavia, ketika pendukung klub Hajduk Split membentuk Torcida Split.

Hanya butuh waktu satu tahun, gagasan Ultras ini masuk ke Italia. Tahun 1951 lahirlah Ultras pertama di Italia, Fedelissimi Granata yang mendukung klub Torino. Fenomena Ultras ini makin meluas di Italia. Maka bermunculanlah kelompok Ultras seperti Fossa dei Leoni (Milan, 1968), Boys LFN (Internazionale, 1968), Ultras Sampdoria (Sampdoria, 1969) Commandos Monteverde Lazio/CML (Lazio, 1971), Yellow-blue Brigade (Hellas Verona, 1971), Viola Club Viesseux (Fiorentina, 1971), Ultras Napoli (Napoli, 1972), Griffin Den (Genoa, 1973), For Ever Ultras (Bologna, 1975), Black and Blue Brigade (Atalanta, 1976), Fossa dei Campioni dan Panthers (Juventus, 1976), dan Commando Ultra Curva Sud/CUCS (Roma, 1977).

Modus operandi terbentuknya kelompok-kelompok ini beraneka-ragam. Menggabungkan kelompok-kelompok kecil yang sudah ada sebelumnya, dari sosialisasi di cafe atau bar, kelompok di sekolah atau kampus, komunitas suatu area geografis tertentu, partai politik dan sebagainya. Usia mereka saat terbentuknya kelompok ini biasanya berkisar antara 15-25 tahun.

Kelompok-kelompok pertama yang terbentuk di atas biasanya tidak bertahan lama. Kelompok baru dari klub yang sama bermunculan, bersaing dan menyisihkan yang sebelumnya. Atau, beberapa kelompok melakukan merger. Dipenjarakannya tokoh-tokoh suatu kelompok Ultras akibat kerusuhan  juga sering menjadi pemicu bubar. Hal yang paling sering terjadi adalah perpecahan dalam suatu kelompok akibat masuknya kepentingan partai politik yang memanfaatkan kekuatan Ultras, komersialisasi Ultras dalam memproduksi dan menjual merchandise, atau masuknya kelompok “swing ultras” alias para “glory hunters”. Mereka yang disebut terakhir ini adalah pendukung yang berpindah klub seiring naik-turunnya prestasi klub, sehingga melunturkan nilai-nilai Ultras itu sendiri. Fossa dei Leoni hingga kini tercatat sebagai Ultras yang paling lama bertahan (1968-2005).

Regenerasi anggota pada kelompok Ultras biasanya dilakukan secara turun-temurun dalam keluarga, dalam suatu institusi sosial-budaya seperti sekolah, kampus, klub-klub hiburan dan sebagainya. Penanaman nilai-nilai Ultras ini berlangsung sejak usia dini secara alamiah

Independensi
Nilai penting lain yang dianut Ultras adalah independensi. Nilai terakhir ini secara masif diperkenalkan oleh Irriducibili Lazio yang terbentuk tahun 1987. Penerapan independensi membatasi loyalitas Ultras hanya kepada tim atau para pemain, dan mengambil posisi independen terhadap pihak lainnya termasuk partai politik, sponsor dan terutama terhadap manajemen klub.

Setelah hadirnya Irriducibili Lazio, maka Ultras di Italia tersegregasi menjadi Ultras Keras dan Ultras Lunak. Kelompok keras akan menolak bantuan dalam bentuk apapun dari manajemen klub, mereka mandiri secara finansial, mengeluarkan uang pribadi untuk tiket dan biaya perjalanan dari kota ke kota mengikuti para pemain yang bertanding serta untuk memproduksi peraga (tifo) dalam stadion. Tak heran, fans Lazio misalnya, dapat bersikap sangat konfrontatif terhadap manajemen Lazio sendiri demi kepentingan pemain dan tim, yang diyakininya. Kelompok Ultras keras ini bersikap protektif membela pemain dan memprotes kebijakan manajemen klub saat prestasi kub melorot.

Kelompok lunak ini cenderung sejalan dengan manajemen klub dan sangat bergantung pada manajemen klub dalam hal pendanaan untuk keperluan spanduk atau bendera, penyediaan sarana gudang atau sekretariat, diskon tiket dan bahkan penyediaan sarana transportasi. Kelompok Ultras dari Juventus misalnya, sebagian besar terdiri dari keluarga dan kerabat pabrik mobil Fiat dan pemasoknya, mereka dikoordinasi dan dibiayai oleh keluarga besar Agnelli. Sementara kelompok Ultras di Internazionale memiliki hubungan finansial yang erat dengan keluarga besar Moratti. Beberapa kelompok bahkan memakai nama sang taipan minyak Italia tersebut pada nama grupnya. Kelompok Ultras lunak ini cenderung membela manajemen klub dan menyalahkan pemain atau pelatih jika prestasi klub merosot.

Apapun, Ultras lebih daripada sekedar pendukung klub. Ultras adalah jalan hidup, gaya hidup dan mentalitas. Tahun 2009 kelompok Ultras keras dari Lazio, Roma, AC Milan, Catania, Genoa dan Napoli mengadakan demonstrasi besar di kota Roma menentang penindasan atas Ultras dan pembatasan masuk stadion. Mereka mengeluarkan deklarasi bersama. Isi deklarasi ini dapat menggambarkan, bagaimana mentalitas Ultras itu sesungguhnya.

Ultras, a Way of Life:

“Kami berbeda dari yang normal dan biasa. Berbeda dari rata-rata, dari yang umumnya ada. Kehormatan, totalitas, loyalitas dan persahabatan. Ultras adalah tentang nilai-nilai idealisme yang diterapkan sepanjang masa. Ultras bukan tentang yang terbaik atau yang teratas , melainkan tentang mentalitas. Mentalitas yang hanya ada pada Ultras. Mentalitas yang yang lebih kuat dari segala tekanan. Pelarangan masuk stadion dan jeruji penjara, tak ada yang dapat menghentikan kami. Kami Ultras, tindaslah kami, maka bara tekad kami akan semakin besar. Kami memercayai mentalitas Ultras. Sepakbola telah sakit, benar-benar sakit. Semuanya hanya tentang uang, uang dan uang. Sepakbola normal telah diabaikan, stadion tak pernah terisi penuh. Mereka menyalahkan Ultras, tapi kami tahu lebih baik daripada mereka.”

“Kamilah bagian termurni yang bertahan dari sepakbola. Kami mengeluarkan ratusan euro dan menempuh ribuan kilometer ke segenap pelosok Italia untuk mewakili kota kami, warna dan klub kami. Kekerasan bukan lagi yang terpenting, karena kalian akan selalu menemukan kekerasan dimanapun kalian berada, di setiap kebudayaan dan di setiap negara. Mereka mengatakan bahwa Ultras merusak sepakbola. Salah besar! Uang, doping, menyuap pemain dan membayar wasit serta pemain yang digaji tak masuk akal tingginya, itulah yang merusak sepakbola. Kamilah yang selalu meneriakkan dukungan bagi tim kami, setiap hari, setiap minggu. Salju, hujan dan teriknya matahari bukan masalah bagi kami. Kami membenci sistem kalian, kami melawan penindasan kalian, dan akan selalu begitu. Ayah-ayah kami dulu memenuhi Curva, kini kami yang ada di sana, dan kelak putera-putera kami yang akan menggantikan. Kami akan menanamkan kepada mereka nilai-nilai yang kami anut, membuat mereka mengerti tentang mentalitas kami, sehingga mereka akan melalui jalan hidup yang sama dengan kami. Generasi tua hilang, generasi baru muncul, tetapi idealisme Ultras akan tetap sama sepanjang masa.”

Selasa, 25 September 2012

Andy Hooper's Image of the Week


Andy Hooper's Image of the Week
foto dari: http://dailymail.co.uk

Siapa yang tidak ngeri melihat sosok ini. Bertelanjang dada dan memperlihatkan tubuhnya yang penuh tatoo, nyaris tak ada lagi bagian kulit tubuhnya yang asli. Dia adalah pemimpin pendukung SS Lazio yang hadir di stadion White Hart Lane saat laga Liga Europa, 21 September 2012 antara tuan rumah Tottenham Hotspurs melawan Lazio.

Tetapi ternyata dia adalah sosok yang ramah, dan bersahabat dalam merespon fotografer Andy Hooper dari Daily Mail, Inggris.

“Saya mengambil gambar pada laga Tottenham Hotspurs 0-0 Lazio di White Hart Lane ketika saya melihat sosok menarik ini. Saat istirahat saya melakukan beberapa pemotretan atas orang yang tubuhnya dipenuhi dekorasi tattoo ini, di antara suporter Lazio. Dia berdiri tanpa baju dan memimpin fans Lazio bernyanyi.”

“Suporter Lazio memiliki reputasi yang buruk di Inggris, tetapi orang ini, selain gayanya yang agresif, ternyata bersahabat dan dengan senang hati bergaya di depan kamera saya. Kami mengalami saat menyenangkan ketika pengambilan gambar tersebut berlangsung.”

Andy Hooper adalah fotografer olahraga paling ternama di Inggris, bekerja hampir dua dekade bagi Daily Mail. Memerima berbagai penghargaan fotografi dari dunia internasional dan dari Kerajaan Inggris atas foto-foto olahraganya yang luar biasa. Hooper berpengalaman meliput empat Olimpiade terakhir.

Dan foto pendukung Lazio ini dinobatkannya sebagai “Andy Hooper's Image of the Week” di Daily Mail.

Senin, 24 September 2012

Bias Gender pada Istilah Laziale dan Lazialita


Bias Gender pada Istilah Laziale dan Lazialita
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012
gambar dari http://dreamstime.com
Ada yang mengganggu saya dalam pemberian istilah-istilah pada komunitas tifosi di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kesetaraan gender antara tifosi laki-laki dan perempuan. Pendukung klub Internazionale, misalnya, disebut sebagai Interista (kalau tunggal) dan Interisti (kalau jamak). Anehnya mereka menciptakan istilah khusus bagi tifosi Inter yang berjenis kelamin perempuan: Internona. Ini sebutan yang hanya ada di Indonesia. Tapi saya tidak peduli mereka. Saya tidak pernah dan tidak akan pernah menyukai Inter, tim medioker, pecundang Kota Milano ini.

Di kalangan pendukung Lazio terjadi fenomena serupa. Yang ini saya peduli dan prihatin, karena saya cinta Lazio dan akan selalu begitu. Pendukung Lazio disebut sebagai Laziale (untuk tunggal) dan Laziali (untuk jamak). Tidak seperti bahasa Jerman, bahasa Italia tidak membedakan kata menurut gendernya. Jadi, baik yang laki-laki, perempuan maupun yang waria sekalipun, pendukung Lazio tetap saja disebut Laziale.

Celakanya, di Indonesia digunakan istilah khusus untuk pendukung Lazio berjenis kelamin perempuan: Lazialita. Lebih celaka lagi, berlainan dengan Internona yang hanya ada di Indonesia, istilah Lazialita ini ada dalam bahasa Italia. Tetapi artinya sangat jauh berbeda dengan pengertian Lazialita yang dikenal di sini. Lazialita berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan Lazio, ke-Lazio-an, atau semangat Lazio. Nama profil saya yang memakai kata "Lazialita Biancocelesti", misalnya, berarti "semangat lazio yang berwarna putih-birulangit" dan bukan "pendukung lazio cewek yang berwarna putih-birulangit". 


Mengapa Tak Ada Lazianto dan Laziudin?
Sebetulnya sah-sah saja jika pendukung Lazio di Indonesia jika ingin membuat istilah sendiri berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Pertanyaannya, mengapa hanya digunakan Lazialita untuk yang perempuan? Mengapa untuk yang laki-laki tidak diberi istilah khusus: Lazianto atau Laziudin misalnya? Tetapi dengan pongahnya mereka tetap memakai istilah Laziale bagi pendukung yang laki-laki, sementara pendukung yang perempuan tidak berhak mengatakan bahwa dirinya seorang Laziale tetapi Lazialita.

Apakah ini sesuatu yang artifisial saja? Tidak juga. Buktinya ada grup yang namanya “Komunitas Laziale-Lazialita Mencari Cinta # KOALA MECHI”. Penyebutan Laziale-Lazialita dalam dua kata terpisah berarti Lazialita itu bukan Laziale, alias Lazialita (yang diartikan pendukung Lazio yang perempuan) bukan Laziale (pendukung Lazio). Rancu dan bias gender!

Implikasi lain dari diskriminasi gender ini terjadi pada “mindset” pendukung Lazio yang laki-laki. Sangat sering saya membaca postingan atau komentar seperti, “Apakah ada Lazialita yang bener-bener suka Lazio? Pasti mereka ikut suka Lazio karena pacarnya seorang Laziale.”


Pelecehan Gender Berkedok Pujian
Sangat sering juga terjadi, pelecehan gender yang seolah-olah dibungkus dengan pujian, “Hebat banget, seorang Lazialita tapi punya pengetahuan yang baik tentang Lazio.” Atau, “Kamu hebat, seorang Lazialita tapi bisa bikin tulisan tentang Lazio.” Memangnya hanya laki-laki yang bisa punya pengetahuan dan mampu membuat tulisan tentang suatu hal, dan perempuan itu mahluk super tolol yang seharusnya tidak tahu apa-apa serta mampu membuat tulisan? Saya menganggap pujian seperti itu sebetulnya sengaja bermaksud melecehkan, karena yang pujian berfokus kepada gendernya, keperempuanannya, bukan pada outputnya. Pengetahuan atau tulisan itu bagus, hebat atau tidak, semuanya tergantung isinya, bukan apakah penulisnya laki-laki atau perempuan.

Beberapa kali saya juga mengalami, seorang Laziale yang laki-laki “add” saya di pertemanan Facebook. Ketika saya “approve”, maka dia akan membuat wallpost atau message: “Kok kamu cewek bisa suka Lazio sih, alasannya apa?” bahkan pernah, “Bener nih kamu Lazialita? Kalo bener, coba, Lazio dapet scudetto tahun berapa aja?”

Kalau kita keluar dari balik tempurung yang melingkupi dan coba melihat Laziali dari seluruh dunia, kita akan melihat bahwa perempuan yang aktif di grup-grup Ultras Lazio sangat banyak, bahkan menjadi administrator atau moderatornya. Bukalah blog-blog Lazio di manca negara, banyak sekali bloggers Lazio yang luar biasa yang berjenis kelamin perempuan. Dan mereka tetap dihargai sebagai pendukung Lazio, sehingga disebut sebagai Laziale. Tidak mengalami diskriminasi seperti di Indonesia, tidak dianggap Laziale dan disebut sebagai Lazialita, dilakukan secara sengaja dan sepihak oleh mereka yang mengagung-agungkan supremasi laki-laki terhadap perempuan.

Kekalahan Yang Dinantikan


Kekalahan Yang Dinantikan
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012

foto dari http://eurosport.se
Pada artikel saya usai Lazio menyisihkan Mura dari Liga Europa dan mengalahkan Palermo pada giornata kedua Serie-A, saya menuliskan bahwa lambat atau cepat Lazio akan mengalami kekalahan. Dan saya menantikan kekalahan itu. Hal itu terwujud secara cepat, tadi pagi Lazio dikalahkan Genoa 0-1 dihadapan Olimpia sang maskot dan puluhan ribu Laziali di curva nord Olimpico.

Tidak ada tim yang tak pernah kalah, dan bagi yang bermental juara kekalahan adalah pelajaran berharga, bukan ajang mencari alasan dan pembenaran-pembenaran atas kesalahan yang dilakukan. Kekalahan “tak layak” atas Genoa akan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak: pemain, manajemen dan pendukung. Dan terutama bagi pelatih Petkovic. Dan ternyata The Doctor memberikan reaksi yang positif, tidak mencari-cari kambing hitam, mengakui kekurangan timnya serta memberikan selamat kepada Genoa.

Catenaccio
Bukan itu saja yang saya harapkan dari Petkovic dalam menyikapi kekalahan pertamanya sebagai pelatih Lazio. Saya berharap Petkovic akan memetik pelajaran berharga dari kejadian ini. Pola menyerang yang diterapkannya memang mulai menunjukkan hasil. Lazio bermain sangat agresif dan menguasai jalannya pertandingan. Tetapi tadi pagi Petkovic dihadapkan pada pola klasik sepakbola Italia yang paling terkenal: pertahanan gerendel alias catenaccio.

Catenaccio terbukti berkali-kali mampu menjadi anti-tesa dan menjinakkan permainan indah dan menyerang baik di tingkat klub maupun tim nasional. Barcelona yang termahsyur dengan sepakbola indah dan menyerang ala tiki-taka beberapa kali menelan pil pahit saat menghadapi tim Italia atau yang dilatih oleh orang Italia yang menerapkan catenaccio. Di Serie-A, Luis Enrique terbukti pontang-panting menghadapi pola negatif sepakbola Italia dengan strategi tiki-taka, menyerang dan mencoba mengendalikan laga. Sebaliknya, Edy Reja yang pragmatis dan menguasai benar teknik catenaccio dapat meraih keberhasilan yang lebih baik.

Saya tak mengharapkan Petkovic menerapkan pola sepakbola negatif. Pelatih asal Bosnia inipun telah menegaskan bahwa dia akan konsisten menerapkan pola menyerang dan tetap berusaha mendominasi tiap laga. Tetapi dia pasti sadar, bahwa menyerang, menyerang dan mendominasi laga belum tentu menjamin kemenangan jika menghadapi catenaccio. Petkovic pelatih cerdas, bukan pelatih pandir macam Luis Enrique. Tentunya Petkovic akan berusaha memadukan sepakbola menyerang yang efektif menghasilkan gol. Saya yakin, Petkovic akan segera menemukan terapi manjur dalam sepakbola indah dan menyerangnya yang dapat mematikan gerendel Italia. Kemenangan Genoa tadi pagi akan menjadi inspirasi bagi klub-klub lain di Italia untuk menerapkan pola serupa saat menghadapi Lazio. Jadi Petkovic harus segera menemukan formula yang tepat untuk itu.

Pelajaran untuk Mercato
Pelajaran berharga juga didapat Lotito, Tare dan jajaran manajemen Lazio. Selama ini mereka terselamatkan dengan rangkaian kemenangan Lazio, walaupun praktis Petkovic menggunakan materi pemain yang sama dengan materi musim lalu. Ketika dihadapkan pada jadwal ketat dan rotasi pemain menjadi keharusan, maka terbukti bahwa materi Lazio musim lalu belum cukup kuat untuk berpacu menggapai scudetto. Ketika Kozak dan Zarate diberi beban tanggung jawab, maka terlihat bahwa kedua pemain pelapis ini tak mampu menggantikan fungsi Klose dan Mauri dengan sama baiknya. Begitu juga dengan Scaloni yang belum berhasil membuktikan dirinya mampu menjadi pelatih Konko yang andal.

Intinya, kekalahan pertama Lazio musim ini semoga membuka mata Lotito dan Tare bahwa kebijakan transfer pemain yang berpihak pada peningkatan kualitas tim adalah mutlak perlu. Dan mereka harus ingat bahwa hingga kini lawan sepadan Lazio yang pernah dihadapi barulah Tottenham Hotspurs. Di Serie-A, empat lawan yang telah dihadapi Lazio adalah tim-tim yang memang kelasnya tidak lebih baik dari Biancocelesti. Lazio belum lagi menghadapi tim-tim sekelas Juventus atau Napoli. Calcio mercato musim dingin, Januari 2013 nanti, harus dimanfaatkan betul-betul untuk melepas pemain yang kurang memberikan kontribusi signifikan dan memasukkan pemain yang kelasnya mampu untuk membuat perubahan positif di tubuh Lazio.

Bagi pemain Lazio, kekalahan atas Genoa akan membuat mereka berpijak di bumi, tidak percaya diri secara berlebihan dan meremehkan lawan. Begitu pula bagi fans Lazio, kekalahan menyakitkan tersebut akan membuat Laziali menhentikan euforia yang terlalu dini dan memberi kesadaran bahwa Lazio masih perlu banyak melakukan perbaikan, belum menjadi tim terkuat di Italia. Lazio dapat kalah. Dan saya yakin, kekalahan dari Genoa bukan kekalahan terakhir Lazio di musim ini. Tetapi semoga kekalahan ini menjadi “obat”. Dan obat memang pahit, tetapi menyembuhkan dan menyehatkan.

Selebihnya, optimisme tetap ada di tim ini. Saya yakin Petkovic akan mampu membangkitkan pasukkannya dari kekalahan. Tim besar bukanlah tim yang tidak pernah kalah. Tim besar adalah yang setelah kalah, mampu segera bangkit kembali, belajar dari kekalahan dan menjadi lebih baik. Avanti Lazio!

Sabtu, 22 September 2012

Lazio-Genoa, Pembuktian di Tengah Jadwal Ketat


Lazio-Genoa, Pembuktian di Tengah Jadwal Ketat
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2011
gambar dari http://legaseriea.it
Tiga hari setelah kembali dari London, para pemain Lazio harus segera bersiap menjamu Genoa di Olimpico. Perjalanan padat Biancocelesti telah dimulai sejak pekan lalu saat bertandang ke Verona. Kali ini daya tahan dan konsentrasi Mauri dan kawan-kawan mengalami ujian.

Genoa adalah satu-satunya tim selain Juventus yang musim lalu mampu mengalahkan Lazio di kedua pertemuannya. Di tempat yang sama, Olimpico, musim lalu, Lazio menyerah 1-2. Sebuah motivasi tinggi bagi Lazio untuk membuktikan diri dihadapan Laziali di Curva Nord.

Musim ini memang sentuhan tangan dingin Petkovic mulai menunjukkan hasil. Lazio tampil lebih apik sebagai sebuah kesatuan tim, bermain dengan pola positif yang menguasai tiap laganya dan, yang terpenting, para pemain kini bermain dengan gembira dan menikmati laga.

Kehilangan beberapa pemain pilarnya seperti Palacio, Gilardino dan Sculli tidak membuat Genoa lebih mudah dihadapi. Hadirnya Borriello dan Immobilie di lini depan membuat serangan Genoa justru lebih bervariasi. Pelatih De Canio memang belum menemukan formasi terbaiknya, tetapi Petkovic tetap harus mewaspadai peningkatan permainan Genoa yang membaik dari laga ke laga. Kekalahan pada dua laga terakhir melawan Catania dan Juventus justru memberikan motivasi tersendiri bagi mereka.

Kalah Bugar
Petkovic tampaknya masih akan menurunkan skuad utamanya minus Konko, Radu, Brocchi dan Diakite yang masih dalam pemulihan. Lazio tetap akan berusaha mendominasi laga dengan agresivitasnya, memanfaatkan lebar lapangan dan bertumpu pada pergerakan lewat sayap.

De Canio tidak dapat menurunkan Rossi dan Vargas. Genoa memainkan pola bola panjang dan cenderung menyerang dari tengah. Yang harus diwaspadai Petkovic adalah aksi individual kedua penyerangnya, Borriello dan Immobilie.

Satu-satunya keuntungan Genoa adalah kebugaran pemainnya yang memiliki waktu istirahat jauh lebih banyak daripada Lazio. Selebihnya, tidak ada alasan untuk tidak menggapai tiga angka di Olimpico. Laga mungkin akan keras dan ketat, tetapi menurut saya Lazio akan mampu memperpanjang rekor kemenangannya dan terus memuncaki klasemen di tiga besar.

Head to Head
Statistik pertemuan kedua tim berimbang. Dari 88 pertemuan sejak musim 1927/1928, baik Lazio maupun Genoa sama-sama mencatat 32 kemenangan, 24 sisanya berakhir imbang. Musim lalu Lazio mengalami dua kekalahan atas Genoa baik laga di Olimpico maupun di Stadio Luigi Ferraris.
Lima pertemuan terakhir:
5 Februari 2012 (Serie-A): Genoa 3-2 Lazio
18 September 2011 (Serie-A): Lazio 1-2 Genoa
14 Mei 2011 (Serie-A): Lazio 4-2 Genoa
6 Januari 2011 (Serie-A): Genoa 0-0 Lazio
25 April 2010 (Serie-A): Genoa 1-2 Lazio

Lima laga terakhir Lazio:
21 September 2012 (Liga Europa): Tottenham Hotspurs 0-0 Lazio
16 September 2012 (Serie-A): Chievo 1-3 Lazio
3 September 2012 (Serie-A): Lazio 3-0 Palermo
31 Agustus 2012 (Liga Europa): Lazio 3-1 Mura
27 Agustus 2012 (Serie-A): Atalanta 0-1 Lazio

Lima laga terakhir Genoa:
17 September 2012 (Serie-A): Genoa 1-3 Juventus
2 September 2012 (Serie-A): Catania 3-2 Genoa
26 Agustus 2012 (Serie-A): Genoa 2-0 Cagliari
18 Agustus 2012 (Coppa Italia): Genoa 1-1 Hellas Verona*
26 Juli 2012 (Pra Musim): Genoa 4-0 Virtus Entella
*Genoa menang adu penalti

Perkiraan Susunan Pemain:
Lazio (4-1-4-1):
22-Federico Marchetti; 5-Lionel Scaloni, 3-Andre Dias, 20-Giuseppe Biava, 19-Senad Lulic; 24-Cristian Ledesma; 15-Alvaro Gonzalez, 8-Anderson Hernanes, 87-Antonio Candreva, 6-Stefano Mauri (kapten); 11-Miroslav Klose

Genoa (4-3-1-2):
1-Sebastien Frey; 31-Mario Sampirisi, 21-Michele Canini, 3-Cesare Bovo, 13-Luca Antonelli; 11-Bosko Jankovic (kapten), 33-Juraj Kucka, 14-Felipe Seymour; 91-Andrea Bertolacci; 22-Marco Borriello, 17-Ciro Immobilie

Wasit:
Antonio Damato (Barletta)

Peluang:
Lazio 60-40 Genoa

Penerawangan Mbah Galuh:
Lazio 2-0 Genoa

Waktu Pertandingan:
Senin, 24 September 2012, pukul 01.45 WIB. Pertandingan disiarkan langsung oleh TVRI.

Kamis, 20 September 2012

Hari Ketika Ultras Bersatu


Hari Ketika Ultras Bersatu
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012

foto dari http://ultraslazio.it
Minggu, 11 November 2007. Terjadi beberapa kerusuhan di Kota Roma.antara pendukung Lazio dan ultras Juventus. Di sebuah SPBU di Badia al Pino di Arezzo polisi berusaha membubarkan sebuah bentrokan. Gabriele Sandri, seorang DJ yang pendukung Lazio berada di tempat dan waktu yang salah, duduk di dalam mobilnya di sekitar tempat itu. Sebuah peluru yang dilepaskan seorang personel polisi kota Roma bernama Luigi Spaccarotella menembus leher Sandri. Sandri menghembuskan nafas terakhirnya.

Kerusuhan merebak di seantero Italia, ultras dari semua klub di Italia memprotes brutalisme polisi tersebut. Mereka, saat itu, tidak lagi mengidentifikasikan diri mereka dengan klub yang didukungnya, tetapi mereka sebagai keluarga besar ultras merasa terzalimi.

Pemakaman Sandri diadakan Rabu, 14 November 2007, diawali misa di gereja setempat. Ribuan ultras dari berbagai klub di Italia, hari itu datang memberikan penghormatan terakhirnya kepada Sandri. Ultras dari semua klub di Italia berbaur, melupakan sementara semua rivalitas. Di hari Rabu itu semua ultra Italia bersatu.

Di bawah ini adalah sebuah catatan harian seorang remaja pendukung AS Roma, klub sekota dan rival abadi Lazio, yang menuliskan pengalamannya menghadiri upacara penghormatan bagi Sandri:


“Pemakaman Gabriele Sandri akan dilakukan hari ini di gereja paroki tempat dia menerima Sakramen Pemandian, beberapa tahun yang lalu. Gereja ini terletak di Piazza Baldunia, tak jauh dari rumah dan toko keluarganya, yang dikelola Sandri. Saya memutuskan untuk menghadirinya. Sebagian untuk menunjukkan rasa hormat saya padanya, sebagian lagi karena kejadian ini membuat saya marah. Sisanya karena rasa keinginan tahu saya.”

“Saya naik bus nomor 913 dari halte Metro di Lepanto. Seorang pria berusia empatpuluhan dan membawa payung yang terlipat naik ke bus sebelum saya, sambil mengamati peta kecil yang kelihatannya dicetak dari internet. Saya mengintip dari balik bahunya, ternyata peta itu menunjukkan rute ke arah gereja. Saya sendiri tidak membawa peta, walaupun saya belum pernah bepergian ke bagian barat daya kota Roma, karena mengira cukup mudah untuk menemukan lokasinya.”

“Bus sangat penuh. Sekitar setengah lusinan remaja dengan topi dan syal AS Roma tertawa riang dan bercanda di bagian belakang bus. Dua gadis mungil berambut pirang berusia sekitar 20 tahun berdiri dalam keheningan. Mereka mengenakan jaket hitam dengan logo birulangit dan putih Lazio serta emblem bendera Italia di lengannya. Kata “Irriducibili” tercetak di bagian depan. Di setiap halte makin banyak orang dengan syal Lazio naik dan membuat bus makin penuh saja. Seorang pria paruh baya bertanya kepada mereka, apakah mereka kenal dengan Gabriele Sandri. Mereka menjawab tidak, tetapi mereka tahu nama pembunuhnya. Pria itu hanya mengatakan bahwa keadaan akan tetap sama saja. Seorang perempuan berusia tigapuluhan bercelana ketat meneruskan bahwa kejadian ini menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah bisa memercayai polisi.”

“Kami turun dari bus dan berjalan ke arah taman di depan gereja. Gerimis mulai turun. Waktu menunjukkan pukul 11.40 dan taman penuh sesak dipadati orang. Beberapa orang membentuk pagar betis di tangga menuju gereja, menahan kerumunan massa yang memenuhi empat penjuru taman. Sebagian besar massa adalah pemuda, tetapi jumlah perempuan dan lanjut usia pun cukup banyak. Media memperkirakan paling tidak 5.000 orang ada di sana saat itu.”

“Kelompok ultras dari seluruh Italia terwakili. Saya melihat kelompok dari Juventus, Taranto, Avellino, Milan Varese, Genoa, Cremonese dan Livorno serta banyak kelompok lain yang tidak saya kenali syalnya, dari klub mana. Saya menyeruak kerumunan orang hingga mencapai pagar di mana terdapat tumpukan tinggi bunga dan syal dari berbagai klub, dilatarbelakangi tilisan KEADILAN BAGI SANDRI. Di antara syal Lazio saya melihat syal AS Roma, Udinese, Palermo, Messina dan banyak lagi. Karangan bunga tidak hanya berasal dari teman-teman Sandri dan pendukung Lazio, tetapi juga dari Antonello Venditti, pimpinan ultras AS Roma. Juga dari petinggi ultras Napoli, Sampdoria dan Torino. Bahkan saya juga melihat karangan bunga berwarna ungu-hitam dari Fossa dei Leoni, yang telah bubar dua tahun silam.”

“Sementara di dalam gereja sudah penuh-sesak oleh keluarga, kerabat dan wakil pemerintah Italia. Ada Walter Veltroni dan Luciano Spaletti. Dan, Francesco Totti yang menangis ketika dia memeluk ibunda Sandri. Seluruh skuad tim Lazio dan tim-tim usia mudanya lengkap hadir di sana, termasuk pelatih Delio Rossi.”

“Kami yang berada di luar tentu saja tidak dapat melihat atau mendengar upacara di dalam gereja. Semuanya hening. Hanya sesekali terdengar tepuk tangan ketika tim Lazio dan keluarga mereka tiba. Saya berdiri di dekat para tokoh Irriducibili. Satu diantaranya memiliki tattoo di leher kanannya: ACAB (All Cops Are Bastards = Semua Polisi Anak Haram). Saya berpindah tempat, sementara hujan makin deras. Tepukan tangan berhenti ketika pemain Lazio terakhir masuk gereja. Kami berdiri dalam keheningan. Di depan saya ada seorang perempuan berusia limapuluhan, seorang diri, memakai syal Lazio sambil meremas-remas saputangan di tangannya.”

“Orang-orang di belakang saya berbincang perlahan dengan bahasa Italia yang bukan beraksen Roma. Pimpinan Banda Noantri tiba dan berdiskusi sejenak dengan pimpinan Irriducibili. Ketua mereka dipenuhi tattoo bergambar salib, simbol-simbol fasisme dan simbol Lazio. Waktu terus berjalan, makin banyak orang berdatangan. Saya berusaha mengabaikan bahwa mantel saya yang tidak tahan air sebentar lagi akan tak berguna.”

“Lewat pukul 13.00 misa berakhir dan terdengar gemuruh tepuk tangan ketika peti jenazah Sandri diusung keluar. Ultras dari berbagai klub kompak meneriakkan “Gabriele uno di noi” atau “Gabriele, kamu bagian dari kami.” Sebagian massa mulai menyanyikan sebuah lagu. Awalnya tak bergitu jelas, tetapi akhirnya ternyata itu lagi “Vola Lazio Vola”. Sebelumnya saya hanya mendengar sayup-sayup lagu itu ketika berada di Curva Sud dan tenggelam dalam sorakan giallorossi di sekitar saya.”

“Fans Lazio di seberang taman mulai bernyanyi dengan suara keras, dan perempuan tua di depan saya tadi, ikut bernyanyi dengan suara bergetar. Saputangannya kini telah benar-benar lusuh. Hujan bertambah deras, perempuan di depan saya akhirnya tak kuat lagi menahan emosinya dan menangis terisak-isak di tengah demuruhnya nyanyian "Lazio sul prato verde vola, Lazio tu non sarai mai sola, Vola un'aquila nel cielo, piu in alto sempre volerà". Untunglah saya membawa tissue, karena saya juga mulai menangis.


“Usai bernyanyi, terdengar beberapa yel "Gabriele sempre con noi" lagi. Beberapa orang sempat melantunkan nyanyian anti-polisi tetapi segera dicegah temannya. Diawali beberapa orang, akhirnya kami semua menyanyikan lagu kebangsaan Italia. Para pimpinan Irriducibili dan Banda Noantri tegap memberikan hormat ala Romawi dengan tangan kanan terangkat ketika peti jenazah Sandri melewati mereka, tanpa yel, tanpa slogan, hanya sebuah penghormatan.”

Massa mulai mencair dan meninggalkan tempat di bawah lebatnya hujan. Para pemain Lazio menaiki bus tepat di depan saya dengan hening, dan duduk di dalamnya. Mereka menghapus uap air dari jendela dan memandangi kami dengan pandangan kosong. Pemain Lazio Mundingayi bahkan menempelkan wajahnya di jendela bus. Kami memandang mereka kembali. Seorang anak kecil melambai kepada mereka dan bertepuk tangan. Massa meninggalkan tempat sama heningnya dengan saat mereka datang. Pulang ke rumah masing-masing. Sekitar seribu orang ultras Lazio menuju Olimpico, berkumpul di bawah Curva Nord dan menyanyikan lagu-lagu Lazio.”

“Mentalitas ultras memang beragam. Sebagian baik, sebagian buruk. Tetapi hari ini saya belajar tentang suatu hal. Hari ini mereka berdatangan dari berbagai kota: Milan, Torino, Udinese,Napoli, Taronto, Palermo; dengan biaya mereka sendiri, berdiri dua jam di bawah derasnya hujan, untuk datang memberikan penghormatan terakhir kepada seorang yang tidak mereka kenal. Mereka bertepuk tangan untuk keluarga dan kerabat yang berduka, menyanyikan sebuah nama yang bahkan tidak dikenalnya seminggu yang lalu. Dan mereka membubarkan diri dalam damai. Anda mungkin menganggap perbuatan mereka ini tidak masuk akal, tetapi masihkah Anda menganggap bahwa semua ultras itu  identik dengan kekerasan?”


Pengadilan memutuskan Luigi Spaccarotella bersalah dan menghukumnya 6 tahun penjara. Ketika Spaccarotella naik banding, pengadilan Italia justru menambah hukumannya menjadi 9 tahun 4 bulan, karena menemukan adanya unsur kesengajaan.

Sandri telah tiada di usianya yang belia. Tetapi Sandri adalah monumen ultras di Italia, tidak hanya bagi Lazio. Curva Nord Olimpico kini bernama Curva Nord Gabriele Sandri dan sebuah bangku dengan foto Sandri sengaja dibuat di sana. Selalu dikosongkan sebagai penghormatan terhadap dirinya. Karena Sandri akan selalu berada di hati semua ultras di Italia. Sebuah yayasan bernama Fondazione Gabriele Sandri didirikan dan tetap beraktivitas hingga hari ini.

Rabu, 19 September 2012

Spurs vs Lazio, Mencari Poin di White Hart Lane


Spurs vs Lazio, Mencari Poin dari White Hart Lane
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
@2012

grafis dari http://uefa.com
Duel pembuka Group J Liga Europa ini akan berlangsung di tengah euforia kedua tim. Lazio yang membukukan kemenangan beruntun di lima laganya serta Tottenham Hotspurs yang, akhirnya, untuk pertama kalinya mampu memenangi sebuah laga di musim ini.

Menghadapi Spurs bukan urusan mudah, apalagi klub ini memiliki rekor baik ketika menghadapi klub Italia, sedangkan Lazio tidak mencatat satupun kemenangan pada 7 laga terakhirnya melawan klub Inggris. Dan laga ini akan dilangsungkan di hadapan tatapan ribuan pasang mata pendukung Spurs di White Hart Lane.

Petkovic tidak akan mengambil risiko memainkan Lulic terlalu dini dan menyimpan Konko yang mengalami cedera ringan. Dia tampaknya juga akan mengistirahatkan tiga pemainnya yaitu Konko, Gonzalez dan Candreva, untuk laga melawan Genoa di Olimpico akhir pekan ini. Scaloni, Cana dan Ederson akan mengisi tempat mereka. Masuknya Cana juga akan dimanfaatkan untuk memperkuat lini pertahanan bersama Ledesma. Klose akan kembali menjadi penyerang tunggal di depan.

Andre Villas-Boas kehilangan Assou Ekoto, Parker dan Kaboul yang masih cedera, dan akan menyimpan beberapa pemainnya untuk laga kandang EPL akhir pekan ini melawan QPR. Dua rekrutan baru yakni kiper Hugo Lloris dan Clint Dempsey akan diberikan kesempatan melakukan debut. Di lini depan, Defoe yang sudah mengemas tiga gol musim ini akan memulai dari bangku cadangan dan posisinya ditempati Adebayor.

Di hadapan pendukungnya Spurs akan bermain lebih menyerang untuk memperoleh tiga poin pertama. Lazio juga akan mempertahankan pola menyerangnya dengan mengutamakan penguasaan bola. Laga akan berlangsung seru dan cenderung seimbang. Dan mengingat perjalanan kedua tim di awal musim ini, Lazio tidak harus kalah dari Spurs sekalipin. Hasil imbang adalah pencapaian yang “fair” bagi Mauri dan kawan-kawan. Yang penting, mencari poin, berapapun, di White Hart Lane.

Head to Head:
Kedua tim belum pernah saling berhadapan di laga resmi, tetapi pernah empat kali bertemu di laga dan turnamen persahabatan. Pertemuan terakhir di White Hart Lane terjadi 10 tahun silam saat keduanya berbagi angka seri 2-2.
Empat pertemuan terakhir:
23 September 1992 (Capital Cup): Lazio 3-0 Tottenham Hotspurs
20 Oktober 1992 (Capital Cup): Tottenham Hotspurs 2-0 Lazio
31 Juli 1993 (Makita Cup): Tottenham Hotspurs 3-2 Lazio
11 Agustus 2002 (Pra-Musim): Tottenham Hotspurs 2-2 Lazio

Lima Laga Terakhir Tottenham Hotspurs:
16 September 2012 (EPL): Reading 1-3 Tottenham Hotspurs
1 September (EPL): Tottenham Hotspurs 1-1 Norwich City
26 Agustus 2012 (EPL): Tottenham Hotspurs 1-1 West Bromwich Albion
19 Agustus 2012 (EPL): Newcastle United 2-1 Tottenham Hotspurs
9 Agustus 2012 (Pra Musim): Valencia 2-0 Tottenham Hotspurs

Lima Laga Terakhir Lazio:
16 September 2012 (Serie-A): Chievo 1-3 Lazio
3 September 2012 (Serie-A): Lazio 3-0 Palermo
31 Agustus 2012 (Liga Europa): Lazio 3-1 Mura
27 Agustus 2012 (Serie-A): Atalanta 0-1 Lazio
24 Agustus 2012 (Liga Europa): Mura 0-2 Lazio

Perkiraan Formasi:
Tottenham Hotspurs  (4-2-3-1):
25-Hugo Lloris; 28-Kyle Walker, 20-Michael Dawson (kapten), 13-William Gallas, 16-Kyle Naughton; 19-Moussa Dembele, 30-Sandro; 7-Aaron Lennon, 11-Gareth Bale, 2-Clint Dempsey; 10-Emmanuel Adebayor

Lazio (4-1-4-1):
22-Federico Marchetti; 5-Lionel Scaloni, 3-Andre Dias, 20-Giuseppe Biava, 39-Luis Pedro Cavanda; 24-Cristian Ledesma; 27-Lorik Cana, 7-Ederson, 8-Anderson Hernanes, 6-Stefano Mauri (kapten); 11-Miroslav Klose

Wasit:
Ovidiu Alin Hategan (Romania)

Peluang:
Tottenham Hotspurs 50-50 Lazio

Penerawangan Mbah Galuh:
Tottenham Hotspurs 1-1 Lazio

Waktu Pertandingan:
Jumat, 21 September 2012, pukul 02.05 WIB. Pertandingan ini tidak disiarkan langsung oleh SCTV.