Jumat, 07 Desember 2012

Laziali dan "No Racism"


Laziali dan “No Racism”
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
©2012

grafis dari http://fotolia.it
Apakah fans Lazio rasis? Jawaban jujur adalah, ya, ada bagian yang cukup vokal walaupun bukan mayoritas, yang dari masa ke masa menunjukkan indikasi rasisme. Media memang cenderung membesar-besarkan, tetapi sumber masalah ini memang ada, betapapun kecilnya.

Kita tidak perlu menutup-nutupi hal itu, karena loyalitas mutlak harus berjalan beriringan dengan kejujuran. Tanpa kejujuran tidak ada loyalitas. Jika hanya mau mengakui hal yang baik dan menyembunyikan yang buruk, maka kita tidak lebih daripada “glory hunter”. Loyalitas kita kepada Lazio adalah loyalitas yang jujur.

Saat ini sedang diluncurkan gerakan anti-rasis di kalangan fans Lazio. Itu menunjukkan bahwa memang ada masalah rasisme di tubuh pendukung Lazio. Kalau tidak, buat apa gerakan ini?

Pengertian Rasisme
Rasisme adalah segala bentuk pemikiran, ucapan baik lisan maupun tertulis, perilaku dan tindakan yang berdasar kepada sebuah kepercayaan bahwa manusia terbagi atas ras, suku, keturunan, agama dan kebangsaan yang menunjukan unsur baik-buruk, terhormat-hina, superior-inferior, menguasai-dikuasai.

Singkatnya, rasisme adalah jika kita menganggap orang atau sekelompok orang lain lebih buruk daripada kita karena perbedaan ras, suku, keturunan, agama dan kebangsaannya. Rasisme selalu mengacu kepada hal-hal yang berada di luar kekuasaan manusia untuk menentukan. Kita tidak pernah dapat memilih dari ras apa kita dilahirkan, dari suku bangsa apa, dari orangtua beragama apa dan dari kebangsaan apa. Menghina, melakukan diskriminasi apalagi melakukan kekerasan hanya karena perbedaan-perbedaan tadi, itulah rasisme.

Yahudi dan Malaysia
Marilah kita ambil contoh beberapa kejadian hangat. Pertama, tentang masuknya konflik Palestina-Israel ke sepakbola. Membela berdirinya negara Palestina (Palestina Merdeka/Free Palestine) adalah bukan rasis, itu sikap politik yang memperjuangkan hak tiap bangsa untuk merdeka. Mengkritisi politik luar negeri Israel yang menekan dan melanggar HAM bangsa Palestina, itu juga bukan rasis. Jangankan negara lain, kita pun sering mengkritisi pemerintah kita sendiri untuk pembiaran pelanggaran HAM.

Tetapi memaki Yahudi, apalagi menggunakan kata-kata kasar, kotor dan mengeluarkan perbendaharaan koleksi kebun binatang, itu jelas rasis. Yahudi adalah sebuah ras, sebuah bangsa dan agama. Menjadi seorang Yahudi bukan pilihan tetapi keniscayaan, seperti halnya kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari orangtua berkebangsaan Indonesia.

Kedua, tentang Indonesia-Malaysia. Membela bangsa kita dari pelanggaran hak cipta dan HAM, bukan rasis, itu mulia. Mengkritisi Kerajaan Malaysia atas pembiaran terhadap hal tersebut juga bukan rasis. Tetapi menghina, memaki bangsa Malaysia, memelesetkannya menjadi malingsia, alaysia dan sejenisnya, itu jelas rasis.

Sukai atau bencilah seseorang atau sekelompok orang karena APA YANG DIPERBUATNYA, bukan karena SIAPA DIA.

Anti-Rasisme
Kini ada momentum bagi kita untuk mendeklarasikan diri bahwa Laziali bukan rasis. Mari kita proklamasikan diri kita bahwa kita anti-rasis. Menjadi seorang anti-rasis tidak sekedar mengirimkan foto kita yang “nyengir” sambil memegang sehelai kertas bertuliskan “No Racism”. Konsekuensinya, kita harus meninggalkan segala ucapan, tulisan dan sikap rasis secara total. Kalau kita bangga menyatakan diri sebagai anti-rasis, tetapi masih memaki Yahudi dan bangsa Malaysia, maka komitmen kita jelas mendua. Kita tidak percaya pada penggunaan standar ganda. Kita tidak membalas tindakan rasis dengan balasan rasis juga. Karena kita juga akan menjadi rasis.

Menjadi seorang rasis, itu sudah cukup buruk. Kalau ditambah lagi dengan sikap munafik, bukan hanya buruk, tetapi parah. Cukup beranikah kita untuk mendeklarasikan diri sebagai Anti-Rasis dan konsekuen dengan segala tindakan kita? Kita sendiri yang bisa menjawabnya dengan tindakan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar