Fakta dan Mitos: Ultras, Kekerasan dan Rasisme
(bagian kedua dari tiga tulisan)
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
@2012
![]() |
foto dari http://ultraslazio.it |
Pengantar:
Ini bagian kedua dari tiga artikel tentang klutur
Ultras di persepakbolaan Italia. Bagian kedua ini akan mengulas tentang distorsi,
ekses dan kesalahpahaman pengertian tentang Ultras. Merupakan kelanjutan dari
bagian pertama, “Ultras, A Way of Life”. Bagian ketiga, “Irriducibili Tak
Pernah Mati” akan secara khusus mengulas lahir, berkembang dan bubarnya
kelompok Ultras paling fenomenal di Italia, Irriducibili Lazio. Meskipun
demikian, masing-masing bagian artikel dapat dibaca secara mandiri.
*****
Dalam perkembangannya, sikap, nilai-nilai dan mentalitas Ultras ini (lihat
bagian pertama), mengalami distorsi pada penerapannya. Distorsi ini terjadi di
dua ranah. Di kalangan Ultras sendiri, distorsi perilaku Ultras menyebabkan timbulnya
ekses yang tidak diinginkan. Di kalangan pengamat, ekses tersebut berujung pada
generalisasi Ultras dan pencampuradukan antara Ultras dengan fenomena lain yang
sebetulnya tidak berkaitan. Timbullah mitos-mitos menyesatkan tentang Ultras.
Media berbahasa Inggris, yang lebih menguasai dunia dibandingkan media
berbahasa Italia, memiliki andil sangat besar dalam penyebarluasan mitos-mitos
ini. Fenomena yang terjadi di Inggris dikaitkan secara naif dengan pengamatan
dan pengalaman terhadap hal-hal eksesif yang terjadi di persepakbolaan Italia.
Mitos Pertama: Ultras Identik dengan Kekerasan
Hingga awal tahun delapanpuluhan, gerakan Ultras di persepakbolaan
Italia cukup mengundang decak kagum dunia. Nilai dan mentalitas yang menjunjung
tinggi kehormatan, totalitas, loyalitas dan solidaritas
(serta independensi) di kalangan Ultras memberi nilai tambah pada
sepakbola itu sendiri. Sepakbola tidak lagi sekedar olahraga dan pertunjukkan
kebolehan pemain di lapangan, tetapi juga melibatkan puluhan ribu penonton di tribun
stadion. Pertunjukan tidak lagi berakhir setelah peluit panjang wasit berakhir,
tetapi berlanjut pada kehidupan sehari-hari. Sepakbola telah menjadi sebuah
ekspresi spiritual.
Kekerasan antar-Ultras memang tidak terhindarkan. Sesekali terjadi
konflik antara pendukung yang berujung pada kekerasan. Tetapi kekerasan memang
dapat saja terjadi, di kalangan Ultras atau bukan, di sepakbola atau di aspek kehidupan
lain, di komunitas manapun, di negara manapun. Dan sejauh itu, ekses Ultras ini
hanya terjadi di Italia, belum lagi menyentuh ke luar batas negara. Ultras
mengalami masa keemasan.
Seiring booming sepakbola Italia, klub-klub Italia secara masif
bersentuhan dengan sepakbola Eropa. Di sinilah bencana berawal. Tahun 1977
kelompok-kelompok kecil pendukung AS Roma membentuk Commando
Ultra Curva Sud (CUCS), sebuah kelompok Ultras yang tertata
rapi dan terorganisasi. Awal tahun 1982 kelompok ini terbagi dalam beberapa
faksi yang tak terkendali. Mereka inilah yang bertanggung jawab terhadap
runtuhnya citra Ultras.
Diawali dengan terbunuhnya pendukung Lazio, Vicenzo
Paparelli, pada derby 1979 oleh pendukung AS Roma. Tahun 1984, lusinan pendukung
Liverpool mengalami penikaman usai Liverpool mengalahkan AS Roma di final
European Cup, bahkan juga terhadap pendukung Liverpool
dari kalangan keluarga yang sedang berjalan kembali menuju hotel, termasuk
seorang bocah 13 tahun. Kejadian inilah yang menjadi katalis terjadinya tragedi
Heysel setahun kemudian, dan yang menjadi korban tak berdosa dari aksi balas
dendam ini adalah pendukung Juventus.
Februari 2001, 14 pendukung Liverpool kembali
mengalami penikaman saat Liverpool bertanding
melawan AS Roma di laga UEFA Cup. Desember 2001, 5 pendukung Liverpool
mengalami hal yang sama saat kedua tim bertemu di laga Liga Champions. Tahun
2006, 13 pendukung Middlesborough mengalami luka serius, 3 di
antaranya ditikam, saat kedua tim bertemu di laga UEFA Cup. Tahun 2007, 13 pendukung
Manchester United luka parah, 3 di antaranya ditikam, pada
laga Liga Champions. Dua tahun kemudian giliran seorang pendukung Arsenal yang
mengalami hal yang sama. Semua terjadi di kota
Roma dan dilakukan oleh pendukung AS Roma.
Media Inggris segera menjuluki Roma sebagai “Stab City ” (kota penikaman), dan
melakukan generalisasi terhadap semua kelompok Ultras di Italia. Mereka
menyamakan Ultras Italia dengan kelompok perusuh sepakbola Inggris, hooligans.
Padahal, sesungguhnya, Ultras bertolak belakang dengan hooliganisme.
Ultras bertujuan mendukung klubnya, sedang
hooligans bertujuan menyerang pendukung lawan. Ultras terorganisasi, bangga
dengan identitas klubnya dan mengenakannya setiap saat, sedangkan hooligans tidak
terorganisasi dan cenderung menyamarakan identitasnya..
Apa daya, karena nila setitik, rusak susu
sebelanga. Akibat kejadian-kejadian di atas, kini Ultras Italia selalu
diidentikkan dengan kekerasan.
Mitos Kedua: Ultras Identik dengan Rasisme
Ultras tidak steril terhadap politik. Justru latar belakang sosial dan
politik tertentulah yang menjadi pengikat terkuat sebuah kelompok Ultras.
Ultras yang “beraliran” kanan seperti pendukung Lazio, Internazionale atau
Hellas Verona sangat kental dengan paham kekananan ini. Maka rasisme muncul, meskipun
dalam kelompok-kelompok kecil dan minoritas. Dari kelompok-kelompok minoritas
ini pun, hanya sebagian kecil yang intinya benar-benar kebencian terhadap ras
berbeda, lainnya hanyalah ekspresi bodoh fans untuk menjatuhkan mental lawan.
Yang disebut belakangan tadi sangat jelas terlihat, saat mereka
mengekspresikan tindakan “rasis” terhadap pemain berkulit hitam dari pihak
lawan, tetapi justru memberikan dukungan bagi pemain berkulit hitam dari klub
sendiri.
Kesalahpahaman lain muncul dengan menyamakan paham fasisme dengan
rasisme, padahal keduanya adalah dua hal yang sangat berbeda. Di kalangan kanan
Italia, masih sangat kuat mengalir paham fasisme yang dicetuskan oleh Benito
Mussolini menjelang Perang Dunia Kedua. Fasisme adalah paham yang ultra-nasionalis,
anti-liberalisme, anti-komunisme, menentang investasi asing dan penjualan aset
Italia (termasuk klub) ke investor non-Italia. Mussolini dan Hitler sama-sama
fasis, tetapi berlainan dengan Hitler, Mussolini tidak rasis.
Dua kesalahpahaman inilah yang menimbulkan mitos bahwa, misalnya, Ultras
Lazio adalah rasis. Media Inggris berpatokan pada dicemoohkannya Fabio Liverani
di awal karirnya di Lazio oleh pendukung Lazio sendiri. Padahal, perlakuan itu
diterima Liverani karena, sebelum bergabung dengan Lazio, dia pernah secara
terbuka mengatakan dirinya fans AS Roma, bukan karena Liverani berkulit hitam.
Antonio Candreva mengalami hal yang sama akibat rumor dirinya pendukung AS Roma
di masa remaja. Padahal Candreva berkulit putih. Mundingayi, Dabo, Manfredini,
Diakite, Makinwa, Cisse, Konko, Cavanda, Onazi dan pemain berkulit hitam Lazio
lainnya tak pernah mengalami perlakuan rasis dari pendukungnya sendiri.
Salam Paolo Di Canio yang mengangkat tangan kanannya sebagai
selebrasi golnya, disalahartikan oleh media Inggris sebagai salam ala Hitler
yang rasis. Padahal salam itu sesungguhnya adalah salam khas Romawi yang
dijiplak Hitler, yang merasa dirinya setara kaisar Romawi. Di Canio menegaskan,
bahwa dirinya memang fasis, tetapi bukan rasis.
Jadi Ultras memang memegang teguh kehormatan, totalitas, loyalitas,
solidaritas dan independensi. Tetapi Ultras sejati adalah anti-kekerasan dan
anti-rasisme.
Baca juga bagian pertama, “Ultras, A Way of Life” di: http://galuhtrianingsihlazuardi.blogspot.com/2012/09/ultras-way-of-life.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar