Selasa, 02 Oktober 2012

Mahalnya Sehelai Bulu Olimpia


Mahalnya Sehelai Bulu Olimpia
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012

foto dari http://ultraslazio.it
Sepekan terakhir beredar berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya tentang adanya penawaran (bid) dari The Alzahid Group of Companies (AGC) milik orang terkaya keempat di Saudi Arabia, Izzam Al Zahid, untuk membeli kepemilikan saham mayoritas SS Lazio (67%) dari tangan Claudio Lotito. Penawaran bernilai 90,5 juta dollar AS. Untuk sementara, berita ini masih dapat dikategorikan sebagai rumor, karena hanya dimuat di surat kabar yang berbasis di Qatar, Al Watan.

Tak urung kabar ini telah menimbulkan berbagai reaksi dari Laziali di berbagai penjuru dunia. Sebagian menyambut dengan gembira karena jika kabar itu benar, maka itu berarti Formello akan dibanjiri euro yang dapat dipergunakan untuk membeli pemain-pemain bintang dan pelatih kenamaan, untuk membawa Lazio ke jajaran klub elit Eropa. Sebagian bersikap skeptis karena rumor seperti ini bukan baru pertama kali ini saja berhembus. Sebagian yang lain bersikap menentang kepemilikan Lazio berpindah ke luar Kota Roma. Saya cenderung mengambil sikap yang sama dengan kelompok yang disebutkan terakhir.

Dari Mussolini Hingga Ghadafi
SS Lazio bukanlah sekedar sebuah klub sepakbola, suatu komoditi yang dapat diperjualbelikan di pasar bebas. Lazio adalah nilai-nilai tradisional luhur dan sebuah sejarah panjang tentang bagaimana nilai-nilai tersebut dipertahankan selama 112 tahun. Itulah sebabnya Lazio dengan tegas dan gagah berani menolak bergabung ketika diktator fasis Italia, Benito Mussolini, mendirikan AS Roma tahun 1927 dari proses merger seluruh klub di Kota Roma. Pada awal tahun sembilanpuluhan, putera pemimpin Lybia Moamar Ghadafi telah berusaha mengambil-alih Lazio, namun tak membuahkan hasil. Itulah sebabnya Sergio Cragnotti memastikan hanya 33% saham Lazio yang diperdagangkan di Borsa Italiana.

Antuasias untuk mengucapkan selamat datang dan membentangkan karpet merah bagi Izzam Al Zahid sebenarnya lebih banyak berasal dari kekecewaan Laziali kepada Lotito yang menerapkan kebijakan yang ketat pada manajemen keuangan Lazio dan kegagalannya bersama Igli Tare dalam memperkuat skuad Biancocelesti minimal pada dua mercato terakhir.

Kebijakan Lotito ini memang berhasil membawa Lazio menjadi salah satu klub yang paling sehat secara keuangan baik di Italia dan bahkan di Eropa. Analis keuangan independen Deloitte menjuluki Lazio sebagai raksasa mungil namun sehat. Total Assets Lazio memang kecil, namun sejak 2003 hingga saat ini Lazio selalu mencatatkan surplus pada laporan keuangannya. Namun tentu saja, bagi fans, pencapaian Lazio dinilai belum maksimal, dan Lotito adalah biang keladi yang selalu menjadi sasaran cacian.

Seharga Ibrahimovic dan Thiago Silva
Penawaran senilai 90,5 dollar AS itu sendiri menimbulkan ketersinggungan bagi kalangan pendukung garis keras Lazio. Jika dikonversikan menjadi mata uang euro, nilai itu tak lebih dari 70 juta euro, atau kurang-lebih sama  dengan paket transfer Ibrahimovic dan Thiago Silva dari AC Milan ke PSG. Bahkan jauh di bawah dibandingkan banderol yang dipasang Napoli untuk Edinson Cavani.

Lebih dari itu, seperti saya sebutkan di atas, Lazio adalah nilai-nilai luhur dan sebuah sejarah panjang tentang kebanggaan Lazio sebagai klub pertama di kota Roma, simbol tertua sepakbola di kota abadi. Lazio dan segala sesuatu yang melekat padanya, termasuk kepemilikannya, harus tetap berada di Kota Roma, salah satu bagian dari Regional Lazio. Ketika Walikota dan Dewan Kota Roma pernah mati-matian mencegah Lazio memindahkan basisnya ke luar ibukota Italia tersebut, apakah kini Laziali membiarkan kepemilikan Lazio berpindah ke Timur Tengah?

Trofi?
Nilai-nilai luhur tersebut harganya jauh lebih tinggi dari sekedar sebuah stadion megah atau beberap tambahan trofi. Trofi, bukan itu yang membuat Vicenzo Paparelli memberikan dukungan hingg kehilangan nyawanya di curva nord saat Derby della Capitale. Trofi, bukan itu yang ada di benak Gabriele Sandri. Trofi, bukan itu yang menjadi tujuan utama puluhan ribu Ultras Lazio yang dengan setia memadati curva nord, menempuh salju, hujan dan panas dalam mendukung para pemain biru-langit. Saat Lazio berada di antara elit Serie-A seperti saat ini, dan tak berkurang sedikitpun tatkala Lazio terpuruk di Serie-B. Trofi, bukan itu yang menjadi dasar keikhlasan pimpinan Irriducibili untuk mendekam di penjara karena membela Lazio.

Kalau trofi yang membuat Paparelli, Sandri dan puluhan bahkan ratusan ribu Ultras mendukung dan berkorban demi Lazio selama berpuluh tahun, tentulah sudah sejak lama mereka menjadi Juventini atau Milanisti atau Interisti. Tetapi mereka dengan sadar memilih untuk setia menjadi Laziali. Bukan trofi, bukan stadion megah. Tetapi mereka menghargai dan menghayati nilai-nilai luhur SS Lazio.

Kebanggaan itu lah yang membuat mereka, yang sebenarnya begitu bencinya kepada Lotito, berucap, “Lebih baik kami mati bersama Lotito daripada Lazio dijual kepada mereka!” Tak heran, mereka juga berujar, “Uang dari Arab senilai itu? Itu bahkan tak dapat membuat kami menukarnya dengan sehelai bulu Olimpia!”

4 komentar: