Mahalnya Sehelai Bulu Olimpia
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012
![]() |
foto dari http://ultraslazio.it |
Sepekan terakhir beredar berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya
tentang adanya penawaran (bid) dari The Alzahid Group of Companies (AGC) milik
orang terkaya keempat di Saudi Arabia, Izzam Al Zahid, untuk membeli
kepemilikan saham mayoritas SS Lazio (67%) dari tangan Claudio Lotito. Penawaran
bernilai 90,5 juta dollar AS. Untuk sementara, berita ini masih dapat
dikategorikan sebagai rumor, karena hanya dimuat di surat
kabar yang berbasis di Qatar ,
Al Watan.
Tak urung kabar ini telah menimbulkan berbagai reaksi dari Laziali di
berbagai penjuru dunia. Sebagian menyambut dengan gembira karena jika kabar itu
benar, maka itu berarti Formello akan dibanjiri euro yang dapat dipergunakan
untuk membeli pemain-pemain bintang dan pelatih kenamaan, untuk membawa Lazio
ke jajaran klub elit Eropa. Sebagian bersikap skeptis karena rumor seperti ini
bukan baru pertama kali ini saja berhembus. Sebagian yang lain bersikap
menentang kepemilikan Lazio berpindah ke luar Kota Roma. Saya cenderung
mengambil sikap yang sama dengan kelompok yang disebutkan terakhir.
Dari Mussolini Hingga Ghadafi
SS Lazio bukanlah sekedar sebuah klub sepakbola, suatu komoditi yang
dapat diperjualbelikan di pasar bebas. Lazio adalah nilai-nilai tradisional
luhur dan sebuah sejarah panjang tentang bagaimana nilai-nilai tersebut
dipertahankan selama 112 tahun. Itulah sebabnya Lazio dengan tegas dan gagah
berani menolak bergabung ketika diktator fasis Italia, Benito Mussolini,
mendirikan AS Roma tahun 1927 dari proses merger seluruh klub di Kota Roma.
Pada awal tahun sembilanpuluhan, putera pemimpin Lybia Moamar Ghadafi telah
berusaha mengambil-alih Lazio, namun tak membuahkan hasil. Itulah sebabnya
Sergio Cragnotti memastikan hanya 33% saham Lazio yang diperdagangkan di Borsa
Italiana.
Antuasias untuk mengucapkan selamat datang dan membentangkan karpet merah
bagi Izzam Al Zahid sebenarnya lebih banyak berasal dari kekecewaan Laziali
kepada Lotito yang menerapkan kebijakan yang ketat pada manajemen keuangan
Lazio dan kegagalannya bersama Igli Tare dalam memperkuat skuad Biancocelesti minimal
pada dua mercato terakhir.
Kebijakan Lotito ini memang berhasil membawa Lazio menjadi salah satu klub
yang paling sehat secara keuangan baik di Italia dan bahkan di Eropa. Analis
keuangan independen Deloitte menjuluki Lazio sebagai raksasa mungil namun
sehat. Total Assets Lazio memang kecil, namun sejak 2003 hingga saat ini Lazio
selalu mencatatkan surplus pada laporan keuangannya. Namun tentu saja, bagi
fans, pencapaian Lazio dinilai belum maksimal, dan Lotito adalah biang keladi
yang selalu menjadi sasaran cacian.
Seharga Ibrahimovic dan Thiago Silva
Penawaran senilai 90,5 dollar AS itu sendiri menimbulkan ketersinggungan
bagi kalangan pendukung garis keras Lazio. Jika dikonversikan menjadi mata uang
euro, nilai itu tak lebih dari 70 juta euro, atau kurang-lebih sama dengan paket transfer Ibrahimovic dan Thiago
Silva dari AC Milan ke PSG. Bahkan jauh di bawah dibandingkan banderol yang
dipasang Napoli untuk Edinson Cavani.
Lebih dari itu, seperti saya sebutkan di atas, Lazio adalah nilai-nilai
luhur dan sebuah sejarah panjang tentang kebanggaan Lazio sebagai klub pertama
di kota Roma, simbol tertua sepakbola di kota abadi. Lazio dan
segala sesuatu yang melekat padanya, termasuk kepemilikannya, harus tetap
berada di Kota Roma, salah satu bagian dari Regional Lazio. Ketika Walikota dan
Dewan Kota Roma pernah mati-matian mencegah Lazio memindahkan basisnya ke luar
ibukota Italia tersebut, apakah kini Laziali membiarkan kepemilikan Lazio
berpindah ke Timur Tengah?
Trofi?
Nilai-nilai luhur tersebut harganya jauh lebih tinggi dari sekedar sebuah
stadion megah atau beberap tambahan trofi. Trofi, bukan itu yang membuat Vicenzo
Paparelli memberikan dukungan hingg kehilangan nyawanya di curva nord saat
Derby della Capitale. Trofi, bukan itu yang ada di benak Gabriele Sandri.
Trofi, bukan itu yang menjadi tujuan utama puluhan ribu Ultras Lazio yang
dengan setia memadati curva nord, menempuh salju, hujan dan panas dalam
mendukung para pemain biru-langit. Saat Lazio berada di antara elit Serie-A
seperti saat ini, dan tak berkurang sedikitpun tatkala Lazio terpuruk di
Serie-B. Trofi, bukan itu yang menjadi dasar keikhlasan pimpinan Irriducibili
untuk mendekam di penjara karena membela Lazio.
Kalau trofi yang membuat Paparelli, Sandri dan puluhan bahkan ratusan
ribu Ultras mendukung dan berkorban demi Lazio selama berpuluh tahun, tentulah
sudah sejak lama mereka menjadi Juventini atau Milanisti atau Interisti. Tetapi
mereka dengan sadar memilih untuk setia menjadi Laziali. Bukan trofi, bukan
stadion megah. Tetapi mereka menghargai dan menghayati nilai-nilai luhur SS
Lazio.
Kebanggaan itu lah yang membuat mereka, yang sebenarnya begitu bencinya
kepada Lotito, berucap, “Lebih baik kami mati bersama Lotito daripada Lazio dijual kepada mereka!” Tak heran, mereka juga berujar, “Uang dari Arab senilai
itu? Itu bahkan tak dapat membuat kami menukarnya dengan sehelai bulu Olimpia!”
keren bgt artikelnya :)
BalasHapusthx :)
HapusKalimat terakhir gw suka kk :D
BalasHapushehehe... ini om Pink ya?
Hapus