Jumat, 28 September 2012

Sportivitas Klose


Sportivitas Klose
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012

foto: Dino Pananto, Getty Image, di http://sbnation.com
Penyerang Lazio, Miroslav Klose, menjadi tokoh yang banyak diperbincangkan di dunia maya dan media cetak dan elektronik olahraga di dunia pekan ini. Tak hanya di Italia dan Eropa, di Amerika Serikat di mana sepakbola kalah populer dibandingkan American Football, bola basket dan baseball pun nama Klose ramai diperbincangkan.

Pada laga pekan kelima Serie-A melawan Napoli di Stadio San Paolo tengah pekan ini, Klose menunjukkan kepada semua orang akan hakikat olahraga yang sebenarnya. Olahraga yang lebih dari sekedar mencari kemenangan dan menjadi yang terbaik, melainkan olahraga yang mengedepankan esensi olahraga itu sendiri, sportivitas.

Klose mencetak “gol” pada menit keempat, tetapi gerakan refleknya secara tak sengaja membuat bola tersentuh lengannya sebelum masuk ke gawang De Sanctis. Wasit tidak melihat kejadian ini karena posisinya yang jauh. Pemain Napoli serta-merta mengajukan protes. Pada titik inilah Klose membuat keputusan luar biasa. Kepada wasit Luca Banti dia mengatakan bahwa bola memang tersentuh tangannya dan meminta kepada sang pengadil laga untuk tidak mengesahkan “gol” tersebut. Maka seluruh pemain Napoli mengerubungi Klose, memeluknya untuk mengapresiasi jiwa besar Klose.

Tindakan Klose mendapat pujian dari pelatih Lazio, Vladimir Petkovic, meskipun dia harus menerima kenyataan timnya kalahkan dengan skor 0-3 di akhir laga. Kapten tim Napoli, Paolo Cannavaro, tidak dapat menyembunyikan kekagumannya kepada Klose. Kepada wartawan dia mengatakan, “Klose sangat layak mendapat penghargaan.”

Ini hanya kisah kecil tentang sportivitas dalam sepakbola, dan bukan satu-satunya. Masih banyak catatan lainnya yang menunjukkan jiwa besar insan sepakbola.

Wenger dan Arsenal
Tanggal 13 Februari 1999 stadion Highbury menjadi saksi atas sebuah sportivitas lainnya. Saat itu Arsenal sedang menjamu Sheffield United pada babak kelima FA Cup dan skor sementara imbang 1-1. Salah seorang pemain tamu dengan sengaja menendang bola keluar lapangan karena melihat rekannya, Lee Morris tergeletak membutuhkan pertolongan. Lemparan kedalam bagi Arsenal diberikan ke Kanu. Oleh pemain asal Nigeria ini buka bukannya ditendang ke arah pemain lawan sebagai wujud “fairplay” tetapi malah dibawa dan dioperkan ke Overmaars untuk dikonversikan menjadi gol kemenangan Arsenal.

Wasit mengesahkan gol ini karena memang tidak ada perarturan resmi yang dilanggar. Meskipun sempat mengejek Kanu, pemain Sheffield United tidak dapat berbuat lain kecuali menerima kekalahan. Adalah pelatih Arsenal, Arsene Wenger, yang menemui pelatih Sheffield United, Steve Bruce, segera setelah laga usai dan menawarkan laga ulang di tempat yang sama. FA menyetujui usulan Wenger. Dan laga ulang digelar 10 hari kemudian, dan tetap dimenangi Arsenal.

Apa yang dilakukan Klose dan Wenger sangat dapat dipahami oleh mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas dalam olahraga. Klose tak hendak mencoreng sejarah karirnya dan klubnya, Lazio, dengan sebuah “Gol Tangan Tuhan”. Wenger juga tak ingin Arsenal dikenang dengan sebuah kemenangan tak terpuji walaupun kemenangan itu sah dan legal menurut peraturan resmi yang ada.

AS Roma dan Cagliari
Sportivitas yang ditunjukkan Klose terjadi hanya berselang sehari setelah FIGC mengabulkan tuntutan dan permohonan AS Roma untuk memperoleh tiga poin tanpa harus berkeringat atas Cagliari, yang tak dapat menggelar laga serta sikap bodoh presidennya, Cellino. Kejadian ini, mau tak mau mengingatkan semua orang akan sebuah sikap berbeda yang 13 tahun yang lalu ditunjukkan Wenger, seperti diuraikan di atas.

Apakah AS Roma salah mengajukan permohonan kemenangan tanpa tanding? Sama sekali tidak salah, karena apa yang dimohonkan oleh AS Roma sesuai dengan peraturan resmi yang ada. Sama halnya dengan peraturan resmi FA yang mengesahkan gol Overmaars. FIGC juga tidak salah dalam menerapkan aturannya.

Yang menjadi berbeda adalah sikap sportivitas itu sendiri. Antara yang menempatkan kemenangan di atas segalanya, dengan yang menempatkan nilai-nilai luhur olahraga (spotivitas) di atas sekedar sebuah kemenangan. Antara yang berjiwa besar, dan berjiwa kerdil. Antara yang bermental juara, dan yang bermental pecundang.

Mental Juara dan Mental Pecundang
Peraturan adalah hukum yang dibuat sebagai pedoman, tetapi semangat sportivitas dan keadilan adalah tujuan akhir yang hendak dicapai. Dapat dianalogikan dengan kejadian di Indonesia. Polisi yang menangkap dan memroses seorang nenek renta pencuri 3 butir kakao atau bocah pencuri sendal butut, jelas tidak salah karena didukung peraturan dan hukum yang resmi. Tapi rasa keadilan publik tidak pernah dapat dibohongi dibendung.

Kembali ke lapangan hijau. Jiwa besar dan sportivitas yang ditunjukkan Klose dan Wenger akan tercatat dalam sejarah olahraga. Sejarah juga akan mencatat mereka yang menempatkan kemenangan diatas luhurnya nilai-nilai sportivitas.

Menunjukkan mental juara atau mental pecundang adalah sebuah pilihan. Mungkin benar kata sebagian orang. Mental juara atau mental pecundang itu bawaan lahir. Tapi mungkin juga itu merupakan hasil dari suatu proses penanaman nilai-nilai hidup dan idealisme yang dilakukan oleh keluarga, komunitas dan entitas di mana sang pelaku berada. Wallahualam!

2 komentar: