Rabu, 05 September 2012

The Doctor yang Memberi Asa


The Doctor yang Memberi Asa
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012
foto: http://lazioland.com
Sedikit sekali yang diketahui tentang Vladimir Petkovic saat Lotito melakukan “perjudian” dengan menunjuknya menjadi pelatih Lazio menggantikan Reja, Juni 2012 lalu. Bermain di klub-klub tak ternama ketika menjadi pemain dan menghabiskan hampir seluruh karirnya sebagai pelatih di Swiss. Sion, Young Boys atau Lugano jelas bukan klub yang menjadi pemberitaan luas. Yang diketahui dari pria berusia 49 tahun ini, saat itu, hanyalah fanatismenya pada sepakbola menyerang dan pola agresif 3-4-3 yang menjadi favoritnya.

Pelatih luar Italia, yang sama sekali belum berpengalaman di Lega Calcio baik sebagai pemain maupun pelatih, dengan konsep baru, saat itu mengingatkan saya pada sosok Luis Enrique yang menangani AS Roma dan membawa bencana bagi klubnya dengan memaksakan “tiki taka” ala Barcelona di Serie-A.

Kekhawatiran ini seakan menemukan kenyataannya ketika Lazio menderita kekalahan beruntun pada uji coba pra-musim. Sangat dimaklumi jika ultras curva nord Olimpico mengejeknya pada saat presentasiresmi tim jelang uji coba keempat melawan Getafe yang kembali berakhir dengan kekalahan pasukan biru langit.

Pada titik ini Petkovic bergeming dan tetap mengekspresikan optimismenya seraya mengatakan bahwa uji coba adalah saatnya melakukan assessment atas pasukannya, mencoba mengenal karakter para pemain yang sama sekali belum dikenalnya, kecuali Senad Lulic, serta melakukan eksperimen untuk menemukan pilihan terbaik yang tersedia.

Petkovic Bukan Enrique
Ternyata, Petkovic bukanlah Enrique yang bersikukuh dengan pola idamannya. Menyadari bahwa stok pemain yang ada tidak memungkinkan bermain 3-4-3 yang efektif, Petkovic segera melakukan koreksi yang akhirnya bertumpu pada 4-3-3 dengan satu striker murni dan dua pemain tengah yang menjadi pseudo striker yang sesungguhnya merupakan modifikasi pola 4-2-3-1. Atau kembali pada pola yang sering dimainkan Reja di putaran pertama musim lalu, 4-3-1-2. Stefano Mauri mendeskrpsikan Petkovic dengan tepat, “Dia membawa perubahan, tetapi bukan revolusi.” Lalu apa yang berubah pada Lazio?

Dua setengah musim kita terbiasa dengan ramuan Reja. Bermain pragmatis dengan bola-bola panjang dan cenderung memainkan sepakbola negatif. Reja memang pragmatis, dia tidak memerdulikan penguasaan bola, keindahan sebuah pertunjukan, dan sampai tahap tertentu, Lazio seringkali tidak bermain sebagai sebuah kesatuan unit. Dan toh, Reja tidak gagal. Dua musim selalu menempatkan Lazio di papan atas dan di zona Eropa serta memenangi dua derby terakhir.

The Doctor, the Counsellor
Petkovic memiliki banyak hal yang mendukung karirnya di Formello. Kecerdasan, karakter yang kuat, figur karismatis dan fasih berbicara 7 bahasa termasuk Bahasa Italia. Petkovic dijuluki The Doctor karena ketelitiannya dan kemampuannya melakukan counselling pada semua pemainnya. Dia sangat memerhatikan tiap pemainnya. Di Auronzo, Petkovic meluangkan waktu hampir dua jam berbicara empat mata dan mengembalikan kepercayaan diri Mauri yang baru saja mengalami kasus pengaturan skor yang dituduhkan jaksa, bahkan seminggu mendekam di tahanan. Hal serupa dilakukannya terhadap Klose yang mengalami kebimbangan setelah kembali dari liburannya usai memperkuat Jerman yang gagal di Euro 2012. Zarate yang arogan dan “bengal” mendapatkan perlakuan berbeda, keras dan tak jarang dimarahi di lapangan latihan ketika naluri individualisnya muncul. Saat Lazio telah unggul 3-0 atas Mura, Zarate yang diturunkan sebagai striker, diperintahkan Petkovic untuk menjadi gelandang bertahan untuk menanamkan padanya bahwa dia bagian dari tim yang harus mau mengorbankan egonya. Mauri, Klose dan Zarate memberikan apresiasi tinggi pada The Doctor ketika berbicara kepada media.

Pada sisi taktis, Petkovic mementingkan penguasaan bola semaksimal mungkin, meminta pemainnya segera melakukan tekanan begitu kehilangan bola. Hernanes dikembalikan ke posisi semula di Sao Paolo dan timnas Brasil sebagai jenderal lapangan tengah dan tidak lagi sebagai trequartista. Lambat tetapi pasti, Lazio bermain sebagai sebuah kesatuan unit, bukan lagi sebagai sebelas orang yang berjuang sendiri-sendiri di lapangan. Permainan Lazio secara perlahan berubah dari permainan sepakbola negatif menjadi tim yang agresif, lebih menanfaatkan serangan lewat sayap. Lazio lebih enak untuk ditonton.

Berpijak di Bumi
Dengan tetap berpijak di bumi, Petkovic sendiri mengakui bahwa timnya belum sempurna dan fenomenal. Masih banyak yang harus diperbaiki. Petkovic tak hendak terlarut dalam euforia prematur setelah memenangi empat laga resmi pertamanya. Bagaimanapun, Mura, Atalanta dan palermo bukan lawan sebenarnya. Lazio masih harus membuktikan diri saat menghadapi tim sekelas Juventus, Milan ataupun Napoli di Serie-A dan selevel Tottenham Hotspurs serta Panathinaikos di Liga Eropa. Perjalanan masih panjang, pembuktian Petkovic belum usai dan pekerjaan rumahnya masih menumpuk.

Terlalu dini saat ini untuk mengatakan bahwa Lazio adalah kandidat kuat pemegang scudetto. Pada titik ini, terlalu naif untuk mengatakan bahwa Lazio telah sempurna. Lambat atau cepat kekalahan pasti datang, dan pada saat itulah kepiawaian Petkovic untuk membangkitkan kembali semangat timnya akan diuji. Tetapi fakta bahwa dari satu laga ke laga berikutnya Lazio mampu bermain lebih baik, memberikan suatu harapan bahwa suatu saat bukanlah hal aneh untuk mengatakan bahwa Lazio adalah tim terbaik di Italia. Kalaupun bukan musim ini, musim depan berpeluang besar menjadi musim milik The Doctor. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar