The Doctor yang Memberi Asa
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012
![]() |
foto: http://lazioland.com |
Sedikit sekali yang
diketahui tentang Vladimir Petkovic saat Lotito melakukan “perjudian” dengan
menunjuknya menjadi pelatih Lazio menggantikan Reja, Juni 2012 lalu. Bermain di
klub-klub tak ternama ketika menjadi pemain dan menghabiskan hampir seluruh
karirnya sebagai pelatih di Swiss. Sion, Young Boys atau Lugano jelas bukan
klub yang menjadi pemberitaan luas. Yang diketahui dari pria berusia 49 tahun
ini, saat itu, hanyalah fanatismenya pada sepakbola menyerang dan pola agresif
3-4-3 yang menjadi favoritnya.
Pelatih luar Italia,
yang sama sekali belum berpengalaman di Lega Calcio baik sebagai pemain maupun
pelatih, dengan konsep baru, saat itu mengingatkan saya pada sosok Luis Enrique
yang menangani AS Roma dan membawa bencana bagi klubnya dengan memaksakan “tiki
taka” ala Barcelona di Serie-A.
Kekhawatiran ini seakan
menemukan kenyataannya ketika Lazio menderita kekalahan beruntun pada uji coba
pra-musim. Sangat dimaklumi jika ultras curva nord Olimpico mengejeknya pada
saat presentasiresmi tim jelang uji coba keempat melawan Getafe yang kembali berakhir dengan kekalahan
pasukan biru langit.
Pada titik ini Petkovic
bergeming dan tetap mengekspresikan optimismenya seraya mengatakan bahwa uji
coba adalah saatnya melakukan assessment atas pasukannya, mencoba
mengenal karakter para pemain yang sama sekali belum dikenalnya, kecuali Senad
Lulic, serta melakukan eksperimen untuk menemukan pilihan terbaik yang
tersedia.
Petkovic
Bukan Enrique
Ternyata, Petkovic
bukanlah Enrique yang bersikukuh dengan pola idamannya. Menyadari bahwa stok
pemain yang ada tidak memungkinkan bermain 3-4-3 yang efektif, Petkovic segera
melakukan koreksi yang akhirnya bertumpu pada 4-3-3 dengan satu striker murni
dan dua pemain tengah yang menjadi pseudo striker yang sesungguhnya
merupakan modifikasi pola 4-2-3-1. Atau kembali pada pola yang sering dimainkan
Reja di putaran pertama musim lalu, 4-3-1-2. Stefano Mauri mendeskrpsikan
Petkovic dengan tepat, “Dia membawa perubahan, tetapi bukan revolusi.” Lalu apa
yang berubah pada Lazio?
Dua setengah musim kita
terbiasa dengan ramuan Reja. Bermain pragmatis dengan bola-bola panjang dan
cenderung memainkan sepakbola negatif. Reja memang pragmatis, dia tidak
memerdulikan penguasaan bola, keindahan sebuah pertunjukan, dan sampai tahap
tertentu, Lazio seringkali tidak bermain sebagai sebuah kesatuan unit. Dan toh,
Reja tidak gagal. Dua musim selalu menempatkan Lazio di papan atas dan di zona
Eropa serta memenangi dua derby terakhir.
The
Doctor, the Counsellor
Petkovic memiliki banyak
hal yang mendukung karirnya di Formello. Kecerdasan, karakter yang kuat, figur karismatis
dan fasih berbicara 7 bahasa termasuk Bahasa Italia. Petkovic dijuluki The
Doctor karena ketelitiannya dan kemampuannya melakukan counselling pada
semua pemainnya. Dia sangat memerhatikan tiap pemainnya. Di Auronzo, Petkovic
meluangkan waktu hampir dua jam berbicara empat mata dan mengembalikan
kepercayaan diri Mauri yang baru saja mengalami kasus pengaturan skor yang
dituduhkan jaksa, bahkan seminggu mendekam di tahanan. Hal serupa dilakukannya
terhadap Klose yang mengalami kebimbangan setelah kembali dari liburannya usai
memperkuat Jerman yang gagal di Euro 2012. Zarate yang arogan dan “bengal”
mendapatkan perlakuan berbeda, keras dan tak jarang dimarahi di lapangan
latihan ketika naluri individualisnya muncul. Saat Lazio telah unggul 3-0 atas
Mura, Zarate yang diturunkan sebagai striker, diperintahkan Petkovic untuk
menjadi gelandang bertahan untuk menanamkan padanya bahwa dia bagian dari tim yang
harus mau mengorbankan egonya. Mauri, Klose dan Zarate memberikan apresiasi
tinggi pada The Doctor ketika berbicara kepada media.
Pada sisi taktis,
Petkovic mementingkan penguasaan bola semaksimal mungkin, meminta pemainnya
segera melakukan tekanan begitu kehilangan bola. Hernanes dikembalikan ke
posisi semula di Sao Paolo dan timnas Brasil sebagai jenderal lapangan tengah
dan tidak lagi sebagai trequartista. Lambat tetapi pasti, Lazio bermain sebagai
sebuah kesatuan unit, bukan lagi sebagai sebelas orang yang berjuang
sendiri-sendiri di lapangan. Permainan Lazio secara perlahan berubah dari
permainan sepakbola negatif menjadi tim yang agresif, lebih menanfaatkan
serangan lewat sayap. Lazio lebih enak untuk ditonton.
Berpijak
di Bumi
Dengan tetap berpijak di
bumi, Petkovic sendiri mengakui bahwa timnya belum sempurna dan fenomenal. Masih
banyak yang harus diperbaiki. Petkovic tak hendak terlarut dalam euforia prematur
setelah memenangi empat laga resmi pertamanya. Bagaimanapun, Mura, Atalanta dan
palermo bukan
lawan sebenarnya. Lazio masih harus membuktikan diri saat menghadapi tim
sekelas Juventus, Milan
ataupun Napoli di Serie-A dan selevel Tottenham Hotspurs serta Panathinaikos di
Liga Eropa. Perjalanan masih panjang, pembuktian Petkovic belum usai dan
pekerjaan rumahnya masih menumpuk.
Terlalu dini saat ini
untuk mengatakan bahwa Lazio adalah kandidat kuat pemegang scudetto. Pada titik
ini, terlalu naif untuk mengatakan bahwa Lazio telah sempurna. Lambat atau
cepat kekalahan pasti datang, dan pada saat itulah kepiawaian Petkovic untuk
membangkitkan kembali semangat timnya akan diuji. Tetapi fakta bahwa dari satu
laga ke laga berikutnya Lazio mampu bermain lebih baik, memberikan suatu
harapan bahwa suatu saat bukanlah hal aneh untuk mengatakan bahwa Lazio adalah
tim terbaik di Italia. Kalaupun bukan musim ini, musim depan berpeluang besar
menjadi musim milik The Doctor. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar